A. Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Agama
Islam merupakan ajaran Allah SWT yang menjadi petunjuk mengenai segala hal yang
diperuntukkan khususnya untuk manusia. Manusia yang dimaksud bukan yang
berdomisili di Timur Tengah atau daratan eropa saja, melainkan di seluruh
pelosok dunia yang memiliki banyak perbedaan, beragam bahasa, kultur, social,
wilayah dan lainnya. Agama Islam yang termaktub dengan bahasa Tuhan dipelajari,
ditelaah umat manusia dengan bahasanya sendiri-sendiri yang menghasilkan sebuah
pemahaman agama. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan pemahaman agama tersebut menjadi beragam, antara yang satu
dan lainnya. Perbedaan pemahaman agama
dianggap sebagai jurang pemisah antara umat yang satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya untuk tetap
mempersatukan/ menyeimbangkannya. Jangan hanya karena perbedaan pemahaman itu,
umat islam mencadi terpecah belah.
2.
Rumusan
masalah
1) Mengapa
muncul perbedaan pemahaman dalam agama Islam?
2)
Bagaimana mensikapi perbedaan pemahaman
dalam agama Islam?
3.
Tujuan
1)
Untuk mengetahui mengapa muncul
perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
2)
Untuk mengetahui bagaimana mensikapi
perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
B. Isi
1)
Sekilas
tentang Islam
Islam yang diterima oleh Allah setelah diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ
يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّار
ِ
“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah
ada seorang pun yang mendengar kenabianku di kalangan umat ini, baik Yahudi
ataupun Nasrani kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaranku
ini niscaya dia akan tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Sebaik-baiknya memahami Islam adalah dengan mengikuti pemahaman para 'ulama
yang telah dijelaskan dan dikenal mempunyai ilmu dan mereka menjelaskan
permasalahan Islam berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah. Selain itu, ulama ini
yang menjelaskan dan memecahkan berbagai permasalahan dan kesulitan-kesulitan
yang ditemui dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan merujuk pada sirah "salafus shalih" dari kalangan shahabat
dan dari ulama dari kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in.
Agama yang diterima disisi
Allah hanyalah Islam. Dalam islam terdapat kata fiqhul ikhtilaf. Ikhtilaf bisa dimaknai dengan tidak sepaham atau tidak sama, ini makna dasar dari kata ikhtilaf. Dan
dalam praktek sehari-hari kata ikhtilaf
sering dipakai untuk menggambarkan perbedaan pandangan atau pendapat seseorang
atau kelompok dengan sebagian yg lain.
Ikhtilaf dibagi menjadi 3, yaitu:
a.
Ikhtilaful
qulub: perbedaan dan perselisihan hati dan ikhtilaf ini termasuk dlm kelompok
tafarruq (perpecahan) dan para ulama sepakat ini g bisa ditolelir.
b.
Ikhtilaful
'uqul wal afkar: perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman, ikhtilaf
jenis ini masih dibagi lagi menjadi 2, yaitu
@ikhtilaf
dalam masalah hukum ushul (hukum
dasar/prinsip) sebagai contoh ketentuan-ketentuan atau hukum yang telah ditetapkan
dan diatur Oleh Alloh dan rosulnya.
@ikhtilaf
dalam masalah uru' (cabang/non
prinsip), sebagai adalah wajar dan para ulama jg sepakat menolelir dan menerima
perbedaan ini,sepanjang tidak berubah menjadi perbedaan atau perselisihan hati.
2)
Perbedaan
Pemahaman dalam Agama Islam
Beda pendapat atau pemahaman merupakan hal
yang wajar, sebagaimana kata pepatah Arab "kullu ro`sin ro`yun"
(setiap kepala mempunyai pendapat). Yang terpenting dalam menghadapi perbedaan
ini adalah bagaimana cara kita menyikapinya.
Dalam tradisi keilmuan agama Islam, tidak jarang
terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar para ulama. Tetapi yang perlu dicatat, perbedaan tersebut dalam
wilayah furu' (cabang), bersifat ijtihadi, seperti masalah fikih, bukan hal yang
ushul (dasar) seperti akidah. Menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama
madzhab mempunyai pandangan sebagaimana yang diungkapkan Imam Syafi'i dengan
indah: "aku yakin pendapatku benar tetapi memungkinkan salah, dan
sesungguhnya pendapat selainku yang bertentangan adalah salah tetapi
memungkinkan benar." (a'taqidu anna ro`yii showwaabun yahtamilu
al-khatha, wa anna ro'ya mukhalifii khathaun yahtamilu as-showwab).
Perbedaan pendapat
inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pemahaman dalam Agama Islam.
Selain itu, banyaknya perbedaan seperti beragam
bahasa, kultur, social, wilayah dan lainnya juga tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan perbedaan pemahaman satu sama lain. Selain itu, membawakan
ayat atau hadits untuk mendukung suatu pendapat atau pemahaman tidaklah cukup
apabila tidak diiringi dengan pemahaman serta metode penarikan kesimpulan
hukum/istidlal dan istinbath yang benar. Karena itulah banyak
muncul pemahaman yang berbeda-beda, tidak terkecuali dikalangan ulama
sekalipun. Pemahaman yang dipercaya ini biasanya akan disalurkan kepada keturunannya. Sehingga pada generasi
berikutnya pun terjadi perbedaan pemahaman.
3)
Mensikapi
Perbedaan Pemahaman dalam Agama Islam
Sebagai
Negara kepulauan yang memiliki ras, budaya, dan bahasa yang berbeda, di
Indonesia juga tidak terlepas dari perbedaan pemahaman dalam islam. Lantas
apakah perbedaan itu mendatangkan rahmat? Jawabannya bisa iya atau tidak tergantung pada obyek perbedaan itu sendiri. Bila perbedaan
itu merupakan hal-hal yang sunnah dan mubah, perbedaan dapat membawa rahmat
tetapi bila perbedaan itu pada hal-hal yang wajib tentu perbedaan itu dapat
membawa mudharat. Namun rupanya kebanyakan dari kita belum siap menerima
keadaan ini. Hal ini terbukti dengan saling membandingkan, memvonis salah,
kafir, sesat satu sama lain sehingga Islam menjadi tekstual, Islam berada
antara hitam putih.
Oleh karena itu, ketika menghadapi suatu perbedaan
pendapat dalam masalah agama, seorang muslim hendaknya melakukan hal-hal
berikut:
1)
Berusaha
untuk mencari kebenaran dan membelanya.
Inilah sikap
yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik
itu masalah ilmiah (keilmuaan) ataupun masalah amaliah (pengamalan) yang
dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya. Kewajiban seorang muslim,
yang pertama adalah mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya. Andaikata
perselisihan itu dalam masalah masalah ilmiah, hendaklah seorang muslim
mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini,
kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
2)
Apabila
perselisihan itu terjadi diantara saudara sesama muslim, maka wajib baginya
untuk bersabar, serta tidak melakukan tindakan yang dapat memecah-belah.Walaupun
kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, di mana tentunya
kita wajib memegangnya, maka dia hendaknya bersabar dalam menghadapi saudara
yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah,
wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban kita adalah
mengetahui di pihak manakah kebenaran itu berada.
3)
Menasehati
pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat di atas
al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan
ishlah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah SWT: “Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau
mengadakan perdamaian diantara manusia” (QS. An-Nisaa [4]: 114).
4)
Tidak
melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil
atau menyebarkan perkataan yang tanpa dasar atau bukti yang kuat, tapi
hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan
perbuatannya.
5)
Bersikap
wasath (netral) antara pihak yang ghuluw (berlebih-lebihan) dan
membesar-besarkan setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak,
dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/ meremehkan),
yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia
menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan serta mendekatkan sudut
pandang mereka diatas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati
pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri.
6)
Jika
dia melihat yang haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah dia berlaku
adil dalam menghukumi pihak yang lain, tapi tidak setiap yang menginginkan
al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya. Terkadang seseorang berbuat
kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali
karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun
jatuh dalam perselisihan dan kesalahan. Maka hendaknya kita bersabar atas
mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Perbedaan yang terjadi, semuanya harus dikembalikan pada
dalil yaitu perkataan Allah swt dan Rasul-Nya. Seorang muslim, selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al
Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah swt:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ
وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka
putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah
Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”
(Qs. Asy-Syuura: 10)
Penjelasan ayat di atas menurut ahli tafsir terkemuka, Ibnu
Katsir ra., mengatakan, “Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang
diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya
(dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana
perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang
lain,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Qs. An Nisa’ [4]: 59). Yang (memutuskan
demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah
kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan.
Kemudian, setelah kita mengetahui penyebab dan kewajiban
kita terhadap perbedaan pendapat, maka dapatlah kita mengupayakan perdamaian
bagi mereka yang berselisih, dengan cara:
1)
Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan. Allah
berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang
berselisih: “Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami istri itu ”(QS. An-Nisaa [4]: 35). Kalau dalam masalah
mendamaikan suami-istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua,
apalagi orang-orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak
diragukan lagi dia akan diberi taufik apabila terpenuhi padanya niat jujur
(benar). Kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan,
sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi
perdamaian.
2)
Mendoakan kebaikan saudara-saudara kita dengan
mengikhlaskan niat agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan
menyatukan hati mereka di atas kebaikan dan taqwa serta membimbing mereka dalam
kebenaran.
3)
Menasihati pihak yang salah secara langsung dengan
hikmah dan perkataan yang baik. Tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya,
adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada
kewajiban baginya.
4)
Menasehati pihak yang benar agar bersabar. Para sahabat
Nabi SAW pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman
mereka. Namun setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih
dari kalian dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan: “(Mereka)
adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan
taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama. Demikian pula Muawiyah
r.a, beliaupun mengakui keutamaan Ali r.a. dan mengatakan: “Kami tidak
memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”.
Jadi, dalam mensikapi perbedaan pemahaman dapat kita
lakukan dengan cara menghormati pendapat yang berbeda, menyampaikan pendapat
dengan ilmu yang benar, dilandasi semangat mencari kebenaran bukan pembenaran.
C. Penutup
1.
Simpulan
a)
Adanya perbedaan pemahaman itu wajar,
karena setiap orang pasti mempunyai pendapatnya masing-masing. Perbedaan
pendapat inilah yang menimbulkan persepsi pada perbadaan pemahaman.
b)
Mensikapi perbedaan permahaman tersebut,
hal yang dilakukan adalah:
1)
Berusaha untuk mencari kebenaran.
2)
Menghormati pendapat/pemahaman orang
lain.
3)
Menyampaikan pendapat dengan ilmu yang
benar.
2.
Saran
Sebagai umat
muslim sudah sepantasnya kita bersatu. Walaupun terdapat perbedaan pemahaman,
tetapi jangan jadikan perbedaan itu sebagai penghalang pemersatu kita. Tetapi
jadikanlah perbedaan itu sebagai suatu ujian, agar kita berusaha mencari
kebenaran Islam.
Daftar
Pustaka
http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/03/memahami-perbedaan-dalam-intra-umat-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar