Rabu, 08 Februari 2012

Sinopsis buku "Ki Hadjar Dewantara"




Judul                           : Ki Hadjar Dewantara
Pengarang                   : Darsiti Soeratman
Penerbit                       : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun terbit                 : 1985
Tempat terbit               : Jakarta
Jumlah halaman           : 144



Ki Hadjar Dewantara pada waktu mudanya bernama R.M. Suwardi Surjaningrat lahir pada hari Kamis, 2 Mei 1889. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo, putera kajeng gusti pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku alam III. Ki Hadjar Dewantara menikah dengan R.A Sutartinah, puteri G.P.H. Sasraningrat, adik G.P.H. Surjaningrat. Dengan demikian Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara adalah saudara sepupu. Ki dan Nyai Hadjar merupakan pasangan yang harmonis. K.H. Dewantara mempunyai 6 orang anaknya. Anak pertama seorang puteri dan yang kedua seorang putra lahir di Negeri Belanda. Empat orang lainnya, seorang putri dan tiga orang putra adalah kelahiran Indonesia.
Keluarga Paku Alam termasuk keluarga yang terpandang. Seluruh putera-puteranya dikirim ke sekolah Belanda, tidak terkecuali K.H. Dewantara. Namun. berbeda dengan saudara-saudara sepupunya, K.H. Dewantara tidak dikirim ke sekolah Dasar Belanda I, melainkan ke Sekolah Dasar Belanda III.
Sesudah tamat sekolah tersebut (1904), K.H. Dewantara masuk ke Sekolah Guru di Yogyakarta. Namun, tidak lama kemudian, datang dokter Wahidin Sudiro Husodo menawarkan beliau masuk Sekolah Dokter Jawa di Jakarta dengan bantuan beasiswa. Selama kurang lebih 5 tahun K.H. Dewantara menjadi murid Sekolah Dokter Jawa, beasiswanya dicabut karena beliau tidak naik kelas disebabkan karena sakit selama empat bulan. Terpaksa beliau harus meninggalkan sekolah tersebut karena tidak dapat membiayainya. Namun, karena kepandaiannya berbahasa belanda, beliau mendapat surat keterangan istimewa dari direktur sekolahnya.
Sesudah meninggalkan Sekolah Dokter Jawa K.H. Dewantara bekerja pada laboratorium Pabrik Gula Kalibogor, Banyumas. Kemudian pada 1911 pindah ke Yogyakarta dan bekerja sebagai pembantu apoteker di Rathkamp. Saat itulah, beliau mulai terjun dalam bidang jurnalistik, membantu surat kabar Sedyo Utomo di Yogyakarta, Midden Java di Bandung dan De Expres di Bandung.
Pada sekitar 1908, pada waktu diadakan persiapan untuk mendirikan Budi Utomo, K.H. Dewantara mulai berkenalan dengan Douwes Dekker. Sesudah Budi Utomo didirikan, pada 20 Mei 1908 beliau sangat tertarik. Waktu ia masih menjadi pelajar Sekolah Dokter Jawa, ia ikut aktif dalam organisasi tersebut dan mendapat tugas di bagian propaganda.
Kemudian K.H. Dewantara pindah ke Sarikat Islam, mula-mula sebagai anggota, lalu duduk dalam pimpinan SI cabang Bandung pada 1912. Akhirnya beliau bergabung bersama Douwes Dekker dan dokter Tjipto Mangunkusumo dalam Indische Partij yang didirikan pada tanggal 6 September 1912. Tiga pemimpin itu kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai. Pada awal Juli 1913, dokter Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi memdirikan Komite BumiPutera. Menjelang keruntuhan Jepang, K.H. Dewantara duduk sebagai badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ketika berada di negeri Belanda, Suwardi tertarik pada masalah pendidikan disamping bidang sosial-politik. Kemudian beliau menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 berhasil memperoleh akte guru. Sesudah Suwardi pulang ke tanah air, ia terjun ke bidang pendidikan. Beliau bekerja sebagai guru sekolah di Adi Dharma. Setelah mempunyai pengalaman mengajar selama satu tahun, muncullah pikiran untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuia dengan cita-citanya.
Pada tanggal 3 Juli 1922 lahir perguruan taman Siswa dengan menggunakan nama “National Onderwijs Instituut Taman Siswa” (Lembaga Pendidikan Nasioanl Tamann Siswa) yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebelum mendirikan sekolah sendiri, K.H. Dewantara bergabung dengan “Peguyuban Selasa-Kliwonan” yang berkedudukan di Yogyakarta. Cita-cita “Peguyuban Selasa-Kliwonan” adalah membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,  membahagiakan  manusia, yang kemudian menjadi cita-cita Perguruan Taman Siswa.
Demikianlah sejak tanggal 3 Juli 1922, K.H. Dewantara bekerja dalam bidang pendidikan untuk merealisasi cita-cita yang luhur. Dan kemudian dikenal sebagai  Bapak Taman Nasioanal Siswa, Bapak Pendidikan Nasional.
K.H. Dewantara tidak hanya berjuang dalam bidang pendidikan. Sebelumnya ia telah berjuang untuk kemerdekaan negerinya melalui bidang politik dan jurnalitik. Ki Hadjar mengikuti dari dekat pembangunan nasional mulai dari Budi Utomo, Serikat Islam, dan Indische Partij, dimana dia ikut bekerja secara aktif.
Setelah proklamasi kemerdekaan, K.H. Dewantara duduk dalam kabinet pertama sebagai menteri Pengajaran. Kemudiaan menjadi anggota Komiter Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan sebagai kegiatan lainnya dalam pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan.
Pada 1948 K.H. Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun Kebangkitan Nasional. Pada kesempatan itu, ia bersama-sama partai-partai mencetuskan pernyataan dalam menghadapi Belanda. Beliau juga pernah menjabat sebagai ketua Kesatuan Pertahanan Rakyat. Kemudian menjadi ketua Peringatn 20 tahun Ikrar pemuda (28 Oktober). Setelah pengakuan kedaulatan dari negeri Belanda (Desember 1949), beliau duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RIS dan DPR-RI. Kemudian pada akhir bulan Maret 1950, beliau mengundurkan diri dari DPR dan selanjutnya mengabdikan diri sepenuhnya kepada Taman Siswa.
Karir K.H. Dewantara dalam bidang jurnalistik juga cukup besar. Selain bekerja sebagai redaktur “Hindia Putera”, membantu “De Indier” di negeri Belanda dan membantu “Utusan Hindia” yang terbit diatanah air, beliau juga membantu majalah “Het Indonesische Verbond Van Studerendent”. Sejumlah karangan yang telah ditulisnya antara lain “Aliran-aliran dan partai-partai di Hindia Timur” dalam warta mingguan Nieuwe Amsterdammer (2 Juni 1917), “Kembali ke Medan Perjuangan” dalam Nieuwe Amsterdammer dan Het Vok (15 September 1917), Artikel mengenai wanita barat yang sedang berusaha mendapatkan hak persamaan dengan kaum pria (1928), “Soal wanita” (22 Desember 1953), dan menjelang wafatnya, beliau sempat menulis sebuah brosur tentang Demokrasi dan Kepemimpinan.
Tidak semua tulisan K.H. Dewantara, mendapat tanggapan positif. Sebuah artikel dalam majalah “Hindia Putera” yang berjudul “Bahasa dan Bangsa”, di periksa dalam delik pers, sehingga pada tanggal 5 Juni sampai 24 Agustus 1920, ia ditahan untuk menunggu perkaranya diperiksa oleh hakim. Delik pers yang kedua terjadi pada November 1920. Beliau dituduh menghina Sri Bagian Ratu Wilhemnia, menghina Badan Pengadilan, menghina Pangreh Praja, dan menghasut untuk merobohkan pemerintah. Hukuman yang diterimanya adalah masuk penjara di Pekalongan. Sesudah keluar dari penjara, tidak berapa lama kemudian ia masuk lagi karena delik pidato. Ia dijatuhi hukuman selama tiga bulan. Mula-mula ditempatkan di penjara Mlaten Semarang, kemudian dipindahkan ke penjara pusat di Pekalongan.
Selain itu, K.H. Dewantara juga pernah menulis karangan yang berjudul “Seandainya saya seorang Belanda” yang merupakan tamparan tersendiri untuk Belanda. Akibat artikel tersebut, beliau ditangkap dan ditahan. Pada 18 Agustus 1913 keluarlah surat keputusan dari wali negara, beliau dikenakan hukuman buang. Lalu beliau memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya. Pada tanggal 6 september 1913, beliau meninggalkan tanah air menuju ke tempat pengasingan.
Menurut keputusan pemerintah, pada 17 Agustus 1917 berakhirlah hukuman pengasingan bagi K.H. Dewantara. Namun, keinginan untuk pulang kembali ke taneh air terpaksa ditunda karena perang di Eropa belum selesai. Akhirnya pada tanggal 26 Juli 1919, keluarga K.H. Dewantara dapat meninggalkan negeri dingin tersebut, bertolak menuju ke tanah air. Dan pada tanggal 5 September 1919 mereka mendarat di Jakarta dengan selamat.
Sebelum tahun 1922, K.H. Dewantara adalah seorang politikus terkemuka. Hukuman pengasingan, hukuman penjara ataupun penahanan-penahanan terhadap dirinya tidak mampu manahan dan mematahkan kegiatannya dalam usahanya mencapai cita-citanya.
Pada tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara wafat dengan tenang di tempat kediamannya Padepokan Muja-muju Yogyakarta sesudah melaksanakan tugas luhur dan mengabdi kepada bangsanya sejak berusia 24 tahun.
Demikianlah sedikit lukisan mengenaia K.H. Dewantara, seorang tokoh pejuang nasional angkatan 1908 ynag sangat besar jasanya dan selalu berusaha menuju ke arah  persatuan dan kesatuan. Beliau adalah perintis kemerdekaan, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional. Karena jasanya yang besar itu, dia diangkat oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan bangsa pada tanggal 8 Maret 1955. Kemudia, pada tanggal 28 April 1959 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengangkat K.H. Dewantara sebagai Ketua Kehormatan PWI secara posthum atau anumerta karena jasanya di kalangan jurnalistik. Peristiwa ini terjadi dua hari sesudah K.H. Dewantara wafat.

1 komentar:

  1. kalau boleh tahu, siapa nama 4 orang anak Ki Hajar Dewantara yang lahir di Indoneesia?

    BalasHapus